Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak bakal segera memberlakukan pajak bagi tokoonline. Seperti dikutip dari Kontan, nantinya setiap transaksi online akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% dari nilai jual. Rencana ini sudah disampaikan oleh pihak Ditjen Pajak dalam pertemuan dengan Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII). Ini merupakan langkah lanjutan Ditjen Pajak menggenjot pendapatan negara, setelah sebelumnya juga menarget sektor Usaha Kecil Menengah (UKM, yang bernilai 1%) dan pengusaha properti.
Pemberlakuannya tidak serta merta dilakukan dalam waktu dekat — setidaknya tidak tahun ini. Saat ini mekanismenya masih menjadi kajian. Pihak Ditjen Pajak bakal menggelar pertemuan dengan semua penyelenggara belanja online, baik perusahaan maupun individu, agar mereka mau memungut PPN 10% dari setiap transaksinya.
Di Amerika Serikat sendiri sebagai perbandingan, di mana pasar belanja onlinesudah mencapai tingkat kematangannya, sejumlah negara bagian bakal mulai memungut pajak per tanggal 1 Juli ini. Di sana, pajak transaksi online tidak hanya mencakup barang-barang yang bersifat fisik, tetapi juga yang bersifat maya seperti pengunduhan aplikasi, lagu, film atau permainan.
Di negeri Paman Sam, transaksi belanja melalui Internet, per tahun 2010, sudah mencapai 16% dari total transaksi secara keseluruhan dan seharusnya persentasenya terus meningkat. Sedangkan di Indonesia masih belum ada data serupa untuk hal yang sama menurut wakil presiden Ideosource Andrias Ekoyuono. Ideosource saat ini menaungi beberapa perusahan UKM e-commerce seperti Everindo, Saqina, dan PasarMinggu.co.
Indonesia sendiri bisa dibilang masih hijau soal urusan belanja online. Persentasenya terbilang masih sangat kecil dibandingkan total penjualan ritel secara keseluruhan. Pemberlakuan pajak terhadap transaksi online di saat masyarakat sedang dalam fase transformasi cenderung membuatnya menjadi kontra produktif. Di Amerika Serikat sendiri, pemerintah federal sempat memberlakukan Internet Tax Freedom Act (ITFA) di tahun 1998 untuk mendorong suburnya bisnis-bisnis e-commerce dan baru mulai memberlakukan pajak (tidak secara keseluruhan) setelah 15 tahun.
Menurut Andrias, “Sebenarnya wajar bisa e-commerce dilirik sebagai sumber pajak bagi negara. Namun jangan sampai malah mempersulit pertumbuhan e-commerce di Indonesia. Diterapkannya PPh untuk UKM 1% dari omset untuk usaha dengan omset sampai Rp 4.8 milyar memang bisa memberatkan e-commerce kecil yang banyak digeluti masyarakat”.
Pemberlakuan pajak untuk transaksi online membutuhkan dua sarana pendukung yang sangat penting. Hal yang pertama adalah arsitektur perbankan dan moneter yang sudah mencakup dan melakukan tracking segala bentuk transaksi, termasuk secara online, baik menggunakan metode pembayaran debit, kredit maupun transaksi antar bank.
Di Indonesia sendiri, arsitektur seperti ini disebut National Payment Gateway yang oleh Bank Indonesia ingin digolkan per tahun ini. Salah satu usaha yang telah dilakukan adalah adanya dimulainya koneksi antara penyedia layanan transaksi antar bank, seperti ATM Bersama, Prima dan Artajasa.
Namun hingga kini masih belum ada kejelasan apakah jalur pembayaran nasional ini tetap akan diterapkan pada tahun ini atau diundur, mengingat tahun 2013 tersisa kurang dari enam bulan lagi dan belum ada kabar atau sosialisasi lebih jauh mengenai program tersebut.
Hal kedua adalah kewajiban (dalam bentuk peraturan) pembentukan badan hukum bagi setiap penyelenggara usaha e-commerce untuk memudahkan urusan pelaporan perpajakan. Badan hukum ini bisa bersifat PT atau adanya suatu bentuk badan hukum baru yang lebih fleksibel seperti LLC di Amerika Serikat. Dengan badan usaha seperti LLC, dengan segala keunggulan dan kekurangannya, kami rasa bisa menjadi model badan hukum yang cocok untuk usaha kecil dan menengah, baik yang bersifat online maupun offline.
Jika kedua sarana pendukung ini belum berlaku dengan baik, tidaklah bijaksana untuk mem-bypass-nya dan langsung mengarah ke pemberlakuan pajak. Dengan posisi e-commerce yang sebenarnya belum signifikan terhadap total penjualan ritel di Indonesia, pajak justru menjadi disinsentif bagi pertumbuhan industri ini sendiri.
Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apa yang akan terjadi terhadap transaksi yang banyak dilakukan oleh perorangan, seperti untuk barang bekas, maupun melalui iklan baris yang transaksinya secara efektif tidak terjadi di situs yang bersangkutan?
Situs seperti Tokobagus, Berniaga, Kaskus FJB, maupun mailing list dan jejaring sosial seperti BlackBerry Messenger, Facebook, dan Twitter, merupakan perangkat pendukung transaksi yang tidak memungut biaya terkait. Pembayaran pada transaksi-transaksi tersebut sering dilakukan melalui transfer antar bank, melalui ATM, ataupun tunai, dan tidak menggunakan invoice atau bukti resmi. Dengan kata lain, transaksi tradisional yang kebetulan menggunakan jalur online sebagai media iklan.
“Problem utamanya bukan di besaran pajak tapi implementasinya, bagaimana mekanisme penagihannya, karena kan mesti ada faktur pajak dan lain lain”, tutur Andrias.
Belum lagi adanya perbedaan perlakuan terhadap jenis pajak yang dikenakan kepada berbagai macam transaksi. Untuk e-commerce, pajak yang dikenakan bisa berbeda jumlahnya tergantung jenis transaksinya apakah transaksi tersebut melibatkan produk yang berasal dari luar negeri untuk konsumsi lokal, produk lokal untuk konsumsi luar negeri, maupun produk lokal untuk konsumsi lokal.
Suatu saat, pemberlakuan pajak untuk transaksi online tidak akan terelakkan. Meskipun demikian, tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapai statetersebut seharusnya dilalui secara perlahan untuk memastikan kematangannya dan keoptimalan pencapaian pendapatan bagi pemerintah di kemudian harinya.
sumber : dailysocial.net
No comments:
Post a Comment